Menyelami Derasnya Arus Kapitalisme
Pada umumnya, kebutuhan manusia diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Akan tetapi, jika kita menilik fenomena saat ini, rasanya cukup sulit untuk tidak mengonsumsi lebih banyak barang yang kita inginkan daripada kebutuhan dasar kita sebagai manusia. Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi?
Rasa-rasanya fenomena ini tidak terlepas dari peran kapitalisme yang gemar membangkitkan hasrat keinginan membeli yang tidak putus-putus, sehingga sukses mencetak individu-individu yang konsumtif. Bahkan pada level tertentu, pola konsumtif dapat mengarah kepada sifat hedonistik.
Biasanya, konsumtif dan hedonis akrab dengan kalangan elit, namun beberapa waktu ini sepertinya sudah merambah hingga tataran grassroot. Hal ini bisa disebabkan adanya asumsi pola hidup hedonis yang sering diidentikan dengan peningkatan status sosial, sehingga sebagian orang berlomba-lomba untuk mendapatkan status tertinggi di kalangan masyarakat. Paling tidak, mereka bisa mendapatkan validasi atas apa yang mereka punya (secara materi). Padahal sejatinya, pola hedonis memliki sentimen negatif, karena sering diasosiasikan dengan sesuatu yang berlebihan.
Kekuatan kapitalisme dalam menawarkan produk membuat masyarakat semakin terpengaruh dengan propaganda pasar. Misalnya, keputusan mereka ketika membeli barang tidak berdasarkan kebutuhan atau nilai kegunaan (secara fungsi) di dalamnya. Sebagaimana menurut Edward Bernays dalam buku “Propaganda: Manipulasi Opini Masyarakat” yang mengatakan:
“Mereka menginginkan suatu barang bukan karena kegunaan atau nilai intrinsiknya, melainkan karena ia secara tak sadar telah melihat di dalamnya suatu simbol yang lain, hasrat yang malu ia akui pada dirinya sendiri.”
Dalam hal ini, praktik kapitalisme dapat mempengaruhi keputusan seorang individu dalam membeli suatu barang. Adapun dengan segala ke-glamour-an produk kapitalisme juga dapat mengubah cara pandang masayarakat dalam menilai seorang individu, sehingga dapat menghasilkan polarisasi antar masyarakat dengan predikat “kelas atas” dan “kelas bawah”.
Mirisnya, predikat tersebut dapat melahirkan jiwa superior dan inferior di kalangan masyarakat. Tentu saja hal ini dapat memantik turbulensi stabilitas sosial di ruang publik, sebagaimana kecemburuan sosial yang sering kita temui di media sosial. Misalnya, seperti adanya konflik antara “Si Kaya” dan “Si Miskin” di media sosial sebagaimana teatrikal pertunjukan wayang.
Syukurnya, dengan fenomena dan dinamika yang terjadi, seorang individu dapat memilih untuk berpijak pada dimensi yang ia inginkan. Apakah ia ingin terbawa arus sebagai masyarakat konsumtif atau menjadi individu yang memiliki prinsip dalam mempertahankan nilai-nilai kesederhanaan.
Satu hal yang menjadi pengingat dalam menghadapi derasnya arus kapitalisme adalah tentang bagaimana kita memaknai hidup ini. Selalu berupaya menjadi pribadi yang bijaksana dan tidak mudah terpengaruh terhadap faktor eksternal yang dapat meredupkan hati. Menjadi manusia yang berorientasi kepada nilai-nilai yang luhur. Menjadi secercah cahaya di tengah gemerlapnya dunia. Hingga pada akhirnya, kita akan mati meninggalkan legacy, bukan hanya meninggalkan harta sebagai benda mati.